Jumat, 03 Mei 2013
A.
Pengertian
Perjanjian
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian
adalah “persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau
lebih, masing-masing bersepakat akan mentaati apa yang tersebut dalam
persetujuan itu.”[1]
Kamus Hukum menjelaskan bahwa perjanjian adalah
“persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, tertulis maupun lisan,
masing-masing sepakat untuk mentaati isi persetujuan yang telah dibuat
bersama.”
Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, “Suatu persetujuan
adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang atau lebih”.[2]
Para sarjana Hukum Perdata pada umumnya berpendapat
bahwa definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan tersebut tidak
lengkap dan terlalu luas. Tidak lengkap karena hanya mengenai perjanjian
sepihak saja dan dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup hal-hal yang
mengenai janji kawin, yaitu perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga yang
menimbulkan perjanjian juga, tetapi, bersifat istimewa karena diatur dalam
ketentuan-ketentuan tersendiri sehingga Buku III KUH Perdata secara langsung
tidak berlaku terhadapnya. Juga mencakup perbuatan melawan hukum, sedangkan di
dalam perbuatan melawan hukum ini tidak ada unsur persetujuan.[3]
R. Subekti mengemukakan perjanjian adalah “suatu
peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu
saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.”[4]
Menurut Salim HS, Perjanjian adalah "hubungan hukum antara subjek yang
satu dengan subjek yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subjek hukum
yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain
berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah
disepakatinya.”[5]
Dari pengertian-pengertian di atas dapat dilihat
beberapa unsur-unsur yang tercantum dalam kontrak, yaitu :
1.
Adanya hubungan
hukum Hubungan hukum merupakan hubungan yang menimbulkan akibat hukum. Akibat
hukum yaitu timbulnya hak dan kewajiban.
2.
Adanya subjek hukum
Subjek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban. Subyek dalam hukum perjanjian
termasuk subyek hukum yang diatur dalam KUH Perdata, Sebagaimana diketahui
bahwa Hukum Perdata mengkualifikasikan subjek hukum terdiri dari dua bagian
yaitu manusia dan badan hukum. Sehingga yang membentuk perjanjian menurut Hukum
Perdata bukan hanya manusia secara individual ataupun kolektif, tetapi juga
badan hukum atau rechtperson, misalnya Yayasan, Koperasi dan Perseroan
Terbatas.
3.
Adanya prestasi
Prestasi menurut Pasal 1234 KUH Perdata terdiri atas untuk memberi sesuatu,
untuk berbuat sesuatu, dan untuk tidak berbuat sesuatu.
4.
Di bidang harta
kekayaan Pada umumnya kesepakatan yang telah dicapai antara dua atau lebih
pelaku bisnis dituangkan dalam suatu bentuk tertulis dan kemudian ditanda
tangani oleh para pihak. Dokumen tersebut disebut sebagai “Kontrak Bisnis” atau
“Kontrak Dagang”.[6]
Perjanjian
merupakan sumber terpenting dalam suatu perikatan. Menurut Subekti, Perikatan
adalah “suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan
mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan
pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu”.
Perikatan
dapat pula lahir dari sumber-sumber lain yang tercakup dengan nama
undang-undang. Jadi, ada perikatan yang lahir dari “perjanjian” dan ada
perikatan yang lahir dari “undang-undang”. Perikatan yang lahir dari
undangundang dapat dibagi lagi ke dalam perikatan yang lahir karena
undang-undang saja (Pasal 1352 KUH Perdata) dan perikatan yang lahir dari
undang-undang karena suatu perbuatan orang. Sementara itu, perikatan yang lahir
dari undangundang karena suatu perbuatan orang dapat lagi dibagi kedalam suatu
perikatan yang lahir dari suatu perbuatan yang diperoleh dan yang lahir dari
suatu perbuatan yang berlawanan dengan Hukum (Pasal 1353 KUH Perdata).
B.
Syarat Sahnya
Perjanjian
Syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal
1320 KUH Perdata yang mengemukakan empat syarat,yaitu :
1.
Adanya
kesepakatan kedua belah pihak
2.
Kecakapan untuk
melakukan perbuatan hukum
3.
Adanya suatu hal
tertentu.
4.
Adanya sebab
yang halal.
Kedua
syarat yang pertama disebut syarat subjektif karena kedua syarat tersebut
mengenai subjek perjanjian sedangkan dua syarat terakhir merupakan syarat
objektif karena mengenai objek dari perjanjian.
Keempat
syarat tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.
Adanya
kesepakatan kedua belah pihak
Syarat pertama dari sahnya suatu perjanjian adalah
adanya kesepakatan para pihak. Kesepakatan adalah “persesuaian pernyataan
kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Yang sesuai itu
adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak dapat dilihat/diketahui orang
lain.”[7]
Pernyataan dapat dilakukan dengan tegas atau secara diam-diam. Pernyataan
secara diam-diam sering terjadi di dalam kehidupan sehari-hari kita. Misalnya,
seorang penumpang yang naik angkutan umum, dengan membayar ongkos angkutan
kepada kondektur kemudian pihak kondektur menerima uang tersebut dan
berkewajiban mengantar penumpang sampai ke tempat tujuannya dengan aman. Dalam
hal ini, telah terjadi perjanjian walaupun tidak dinyatakan secara tegas.
Persetujuan tersebut harus bebas, tidak ada paksaan.
Kemauan yang bebas sebagai syarat pertama untuk terjadinya perjanjian yang sah.
Dianggap perjanjian tersebut tidak sah apabila terjadi karena paksaan,
kekhilafan atau penipuan. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1321 KUH Perdata
yang menyatakan jika di dalam perjanjian terdapat kekhilafan, paksaan atau
penipuan, maka berarti di dalam perjanjian itu terjadi cacat kehendak dan
karena itu perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Cacat kehendak artinya “bahwa
salah satu pihak sebenarnya tidak menghendaki isi perjanjian yang demikian.
Seseorang dikatakan telah membuat kontrak secara khilaf manakala dia ketika
membuat kontrak tersebut dipengaruhi oleh pandangan atau kesan yang ternyata
tidak benar.[8]
2.
Kecakapan untuk
melakukan perbuatan hukum
Menurut 1329 KUH
Perdata kedua belah pihak harus cakap menurut hukum. Kecakapan bertindak adalah
kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum. Dimana perbuatan hukum ialah
perbuatan yang menimbulkan akibat hukum.
Ada beberapa
golongan oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap yaitu:
1.
Orang yang belum
dewasa Menurut Pasal 330 KUH Perdata, belum dewasa adalah mereka yang belum
mencapai umur genap 21 tahun dan belum pernah kawin. Apabila perkawinan itu
dibubarkan sebelum mereka genap 21 tahun maka tidak berarti mereka kembali lagi
dalam keadaan belum dewasa.
2.
Orang yang
ditaruh di bawah pengampuan Orang yang ditaruh di bawah pengampuan menurut hukum
tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya. Seseorang yang berada di
bawah pengawasan pengampuan, kedudukannya sama dengan seorang anak yang belum
dewasa. Jika seorang anak yang belum dewasa harus diwakili orang tua atau
walinya maka seorang dewasa yang berada di bawah pengampuan harus diwakili oleh
pengampu atau kuratornya. Dalam pasal 433 KUH Perdata, disebutkan bahwa setiap
orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak, atau mata
gelap, harus di bawah pengampuan jika ia kadang-kadang cakap menggunakan
pikirannya. Seseorang yang telah dewasa dapat juga berada di bawah pengampuan
karena keborosannya.
3.
Orang perempuan
dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-undang telah melarang membuat
perjanjian-perjanjian tertentu. Tetapi dalam perkembangannya istri dapat melakukan perbuatan hukum, sesuai dengan pasal 31 ayat
(2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 jo.SEMA No.3 Tahun 1963.
3.
Adanya suatu hal
tertentu
Suatu hal dapat
diartikan sebagai objek dari perjanjian. Yang diperjanjikan haruslah suatu hal
atau suatu barang yang cukup jelas atau tertentu. Menurut Pasal 1332 KUH
Perdata, hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi
pokok-pokok perjanjian. Pasal 1333 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu
persetujuan itu harus mempunyai pokok suatu barang yang paling sedikit dapat
ditentukan jenisnya. Tidak menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu
asal barang kemudian dapat ditentukan atau dihitung.
4.
Adanya sebab
yang halal
Di dalam
Undang-undang tidak disebutkan pengertian mengenai sebab (orzaak,causa). Yang
dimaksud dengan sebab bukanlah sesuatu yang mendorong para pihak untuk
mengadakan perjanjian, karena alasan yang menyebabkan para pihak untuk membuat
perjanjian itu tidak menjadi perhatian umum. Adapun sebab yang tidak
diperbolehkan ialah jika isi perjanjian bertentangan dengan undangundang,
kesusilaan dan ketertiban umum.
Dari uraian di
atas, apabila syarat subjektif tidak terpenuhi, maka salah satu pihak dapat
meminta supaya perjanjian itu dibatalkan, namun, apabila para pihak tidak ada
yang keberatan, maka perjanjian itu tetap dianggap sah. Sementara itu, apabila
syarat objektif tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum.
Keempat syarat
tersebut haruslah dipenuhi oleh para pihak dan apabila syarat-syarat sahnya
perjanjian tersebut telah terpenuhi, maka menunit Pasal 1338 KUH Perdata,
perjanjian tersebut mempunyai kekuatan hukum sama dengan kekuatan suatu
Undang-undang.
C.
Jenis-jenis
Perjanjian
Perjanjian
dapat dibedakan menurut berbagai cara. Perbedaan tersebut adalah sebagai
berikut:[9]
a.
Perjanjian
Timbal Balik Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan
kewajibanpokok bagi kedua belah pihak. Misalnya perjanjian jual beli.
b.
Perjanjian
Cuma-cuma Perjanjian dengan cuma-cuma
adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu
pihak saja. Misalnya hibah.
c.
Perjanjian Atas
Beban Perjanjian Atas Beban adalah perjanjian dimana prestasi dari pihak yang
satu merupakan kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu
ada hubungannya menurut hukum.
d.
Perjanjian
Bernama (Benoemd) Perjanjian bernama (khusus) adalah perjanjian yang mempunyai
nama sendiri. Maksudnya perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh
pembentuk undang-undang berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi
sehari-hari. Perjanjian ini diatur dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII KUH
Perdata.
e.
Perjanjian Tidak
Bernama (Onbenoemd Overeenkomst) Perjanjian Tidak Bernama (Onbenoemd) adalah
perjanjian-perjanjian yang tidak diatur dalani KUH Perdata, tetapi terdapat
dalam masyarakat. Perjanjian ini seperti perjanjian pemasaran, perjanjian kerja
sama. Di dalam praktekmya, perjanjian ini lahir adalah berdasarkan asas
kebebasan berkontrak mengadakan perjanjian.
f.
Perjanjian
Obligatoir Perjanjian obligatoir adalah perjanjian di mana pihak-pihak sepakat
mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak lain
(perjanjian yang menimbulkan perikatan).
g.
Perjanjian
Kebendaan Perjanjian Kebendaan adalah perjanjian dengan mana seseorang
menyerahkan haknya atas sesuatu benda kepada pihak lain, yang membebankan
kewajiban pihak itu untuk menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain.
h.
Perjanjian
Konsensual Perjanjian Konsensual adalah perjanjian dimana di antara kedua belah
pihak tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan.
i.
Perjanjian Riil
Di dalam KUH Perdata ada juga perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadi
penyerahan barang. Perjanjian ini dinamakan perjanjian riil. Misalnya
perjanjian penitipan barang, pinjam pakai.
j.
Perjanjian
Liberatoir Perjanjian Liberatoir adalah perjanjian dimana para pihak
membebaskan diri dari kewajiban yang ada. Misalnya perjanjian pembebasan
hutang.
k.
Perjanjian
Pembuktian Perjanjian Pembuktian adalah perjanjian dimana para pihak menentukan
pembuktian apakah yang berlaku diantara mereka.
l.
Perjanjian
Untung-untungan Perjanjian Untung-untungan adalah perjanjian yang objeknya
ditentukan kemudian. Misalnya perjanjian asuransi.
m.
Perjanjian
Publik Perjanjian Publik adalah perjanjian yang sebagian atau seluruhnya
dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak yang bertindak adalah
Pemerintah dan pihak lainnya adalah swasta. Misalnya perjanjian ikatan dinas
dan pengadaan barang pemerintahan.
n.
Perjanjian
Campuran Perjanjian Campuran adalah perjanjian yang mengandung berbagai unsur
perjanjian. Misalnya pemilik hotel yang menyewakan kamar (sewa menyewa) tetapi
menyajikan pula makanan (jual beli) dan juga memberikan pelayanan. Dari jenis-jenis perjanjian di atas, dapat
dilihat bahwa perjanjian waralaba termasuk jenis perjanjian tidak bernama atau
onbenoemde overeenkomst. Dalam Kamus Hukum, onbenoemde overeenkomst adalah
“perjanjian atau persetujuan yang tidak mempunyai nama khusus maupun yang tidak
dikenal dengan suatu nama.”
D.
Berakhirnya
Perjanjian
Dalam Pasal 1381 KUH Perdata menyebutkan tentang
cara berakhimya suatu perikatan, yaitu : “Perikatan-perikatan hapus karena
a.
pembayaran;
b.
karena penawaran
pembayaran tunai diikuti dengan
penyimpanan atau penitipan;
c.
karena
pembaharuan hutang;
d.
karena
perjumpaan hutang atau kompensasi;
e.
karena
percampuran hutang;
f.
karena
pembebasan hutangnya;
g.
karena musnahnya
barang yang terhutang;
h.
karena kebatalan
atau pembatalan;
i.
karena
berlakunya suatu syarat batal, yang diatur dalam bab kesatu buku ini;
j.
karena lewatnya
waktu, hal mana akan diatur dalam suatu bab tersendiri".
Dalam buku Mariam Darus, hapusnya
perikatan dikarenakan beberapa hal yaitu :[10]
a.
Pembayaran Yang
dimaksud dengan pembayaran dalam Hukum Perikatan adalah setiap tindakan
pemenuhan prestasi. Penyerahan barang oleh penjual, berbuat sesuatu atau tidak
berbuat sesuatu adalah merupakan pemenuhan dari prestasi atau tegasnya adalah
“pembayaran”.
b.
Subrogasi
Subrogasi adalah penggantian kedudukan kreditur oleh pihak ketiga. Penggantian
itu terjadi dengan pembayaran yang diperjanjikan ataupun karena ditetapkan oleh
undang-undang. Misalnya, apabila pihak ketiga melunaskan utang seorang debitur
kepada krediturnya yang asli, maka lenyaplah hubungan hukum antara debitur
dengan kreditur asli.
c.
Tentang
penawaran pembayaran tunai, diikuti oleh
penyimpanan atau penitipan Dalam hal
perikatan dapat hapus dengan penawaran pembayaran yang diikuti penyimpanan atau
penitipan ini di mana debitur yang akan membayar hutangnya kepada kreditur,
tetapi kreditur menolak pembayaran tersebut dan oleh debitur uang atau barang
yang akan dibayarkan kepada kreditur di titipkan ke pengadilan guna dibayarkan
kepada kreditur.
d.
Pembaharuan
Hutang Pembaharuan hutang adalah suatu perjanjian dengan mana perikatan yang
sudah ada dihapuskan dan sekaligus diadakan suatu perikatan baru.
e.
Musnahnya Barang
yang Terhutang Musnahnya barang yang terhutang ini adalah suatu barang tertentu
yang menjadi obyek perikatan dihapus dan dilarang oleh Pemerintah yang tidak
boleh diperdagangkan lagi. Dalam pasal 1553 KUH Perdata disebutkan bahwa jika
selama waktu sewa, barang yang disewakan sama sekali musnah karena suatu
kejadian yang tidak disengaja, maka persetujuan sewa gugur demi hukum.
f.
Pengoperan
Hutang dan Pengoperan Kontrak
Dalam
praktek selalu terjadi bahwa suatu kontrak dialihkan kepada pihak lain. Hal ini
terjadi misalnya pemilik suatu perusahaan memindahkan perusahaannya kepada
pihak lain dengan janji bahwa pemilik baru tersebut akan mengambil alih juga
segala hak-hak dan kewajiban yang melekat pada perusahaan tersebut.
g.
Kompensasi atau
Perjumpaan Hutang
Kompensasi
itu terjadi apabila 2 (dua) orang saling berhutang l (satu) dengan yang lain, sehingga hutang-hutang tersebut
dihapuskan karena oleh Undangundang telah ditentukan bahwa terjadi suatu
perhitungan antara mereka. Misalnya, si A berhutang sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh
ribu rupiah) kepada si B dan si B mempunyai hutang sebesar Rp.5.000,- (lima
ribu rupiah) kepada si A, sehingga terjadi kompensasi antara mereka yang
menyebabkan si A hanya berhutang Rp.5.000,- (lima ribu rupiah) kepada si
B.
h.
Percampuran
Hutang
Dalam
hal pencampuran hutang ini biasanya dalam hal pewarisan, dimana debitur menjadi ahli waris si kredirur.
Apabila kreditur meninggal dunia, maka hutang-hutang debitur dibayarkan oleh
ahli warisnya dan menjadi lunas.
i.
Pembebasan
Hutang
Pembebasan
Hutang adalah pernyataan kehendak dari kreditur untuk membebaskan debitur dari perikatan dan
pernyataan kehendak tersebut diterima oleh debitur.
j.
Kebatalan dan
Pembatalan Perikatan
Alasan-alasan
yang dapat menimbulkan kebatalan suatu perikatan adalah kalau perikatan
tersebut cacat pada syarat-syarat yang objektif saja. Cacat tersebut adalah
objek yang melanggar undang-undang dan ketertiban umum.
Di samping hapusnya perjanjian berdasarkan hal-hal
yang telah dijelaskan diatas dan Pasal 1381 KUH Perdata, masih ada sebab lain
berakhirnya perjanjian, yaitu :
1.
Jangka waktu
yang ditentukan dalam perjanjian tersebut telah berakhir;
2.
Adanya
persetujuan dari para pihak untuk mengakhiri perjanjian tersebut;
3.
Ditentukan oleh
Undang-undang misalnya perjanjian akan berakhir dengan meninggalnya salah satu
pihak peserta perjanjian tersebut;
4.
Adanya putusan
hakim dan;
5.
Tujuan yang
dimaksud dalam perjanjian telah tercapai.
E.
Wanprestasi
Apabila salah seorang debitur tidak memenuhi
kewajibannya dalam suatu perjanjian, maka ia dikatakan ingkar janji atau
wanprestasi.
Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur disebabkan
oleh dua kemungkinan alasan, yaitu :[11]
1.
Karena kesalahan
debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhi kewajiban maupun karena kelalaian.
2.
Karena keadaan
memaksa (overmacht), force majeure, jadi
di luar kemampuan debitur.
Mariam Darus
menyebutkan wujud dari tidak memenuhi perikatan (wanprestasi) terbagi tiga
yaitu : [12]
1.
Debitur sama
sekali tidak memenuhi perikatan,
2.
Debitur
terlambat memenuhi perikatan,
3.
Debitur keliru
atau tidak pantas memenuhi perikatan.
Sama halnya
dengan Mariam Darus, Abdulkadir Muhammad juga menyatakan adanya tiga keadaan
wanprestasi, yaitu:
1.
Debitur tidak
memenuhi prestasi sama sekali,
2.
Debitur memenuhi
prestasi, tetapi tidak baik atau keliru. Dalam hal ini, debitur yang memenuhi
prestasi tetapi keliru jika ia tidak memperbaiki kekeliruannya maka ia dianggap
tidak memenuhi prestasi sama sekali.[13]
3.
Debitur memenuhi
prestasi, tetapi tidak tepat waktunya atau terlambat. Sementara itu, R. Subekti
menyebutkan wanprestasi (kelalaian atau kealpaan)
seorang
debitur dapat berupa empat macam :[14]
a.
Tidak melakukan
apa yang disanggupi akan dilakukannya;
b.
Melaksanakan apa
yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
c.
Melakukan apa
yang dijanjikan tetapi terlambat;
d.
Melakukan
sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Untuk mengetahui sejak kapan debitur dalam keadaan
wanprestasi, perlu diperhatikan apakah dalam perikatan itu ditentukan tenggang
waktu pelaksaanaan pemenuhan prestasi atau tidak. Dalam hak tenggang waktu
pelaksanaan pemenuhan prestasi “tidak ditentukan”, perlu memperingatkan debitur
supaya ia memenuhi prestasi. Tetapi dalam hal telah ditentukan tenggang
waktunya, menurut ketentuan pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggap lalai
dengan lewatnya tenggang waktu yang telah ditetapkan dalam perikatan.
Kreditur dapat menuntut debitur yang telah melakukan
wanprestasi hal-hal sebagai berikut :20
a.
Kreditur dapat
meminta pemenuhan prestasi saja dari debitur;
b.
Kreditur dapat
menuntut prestasi disertai ganti rugi kepada debitur (Pasal 1267 KUH Perdata);
c.
Kreditur dapat
menuntut dan meminta ganti rugi, hanya mungkin kerugian karena keterlambatan
(HR 1 November 1918);
d.
Kreditur dapat
menuntut pembatalan perjanjian;
e.
Kreditur dapat
menuntut pembatalan disertai ganti rugi kepada debitur. Ganti rugi itu berupa
pembayaran uang denda.
Seorang debitur
yang dituduh lalai dan dituntut hukuman kepadanya, ia dapat melakukan pembelaan
terhadap dirinya dari hukuman yang akan diberikan dengan mengajukan beberapa
alasan. Pembelaan tersebut ada tiga macam, yaitu :[15]
a.
Karena adanya
keadaan memaksa (overmacht atau force majeur)
b.
Mengajukan bahwa
kreditur sendiri juga telah lalai (Exceptio non adimpleti contractus)
c.
Mengajukan bahwa
kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi (rechtvenverking)
a.
Keadaan Memaksa
(Overmacht atau Force majeur)
Bahwa debitur
tidak dapat melaksanakan apa yang telah diperjanjikan karena adanya hal-hal
yang tidak terduga, dimana ia tidak dapat berbuat sesuatu terhadap peristiwa
yang terjadi di luar dugaan tersebut. Misalnya, bencana alam yang menyebabkan
musnahnya objek yang diperjanjikan. Seiring dengan perkembangannya, keadaan
memaksa itu tidak hanya bersifat mutlak tetapi ada juga yang bersifat tidak
mutlak yaitu debitur masih dapat melaksanakan perjanjian tetapi dengan
pengorbanan yang sangat besar sehingga tidak sepantasnya pihak kreditur
menuntut debitur untuk melaksanakan perjanjian. Misalnya, setelah diadakannya
suatu perjanjian, keluar suatu Peraturan Pemerintah yang melarang
dikeluarkannya suatu jenis barang yang merupakan objek perjanjian, dari suatu
daerah dengan ancaman hukuman berat bagi si pelanggar sehingga, kreditur tidak
dapat menuntut pemenuhan hak pelaksanaan perjanjian.
b.
Mengajukan bahwa
kreditur sendiri juga telah lalai (Exceptio non adimpleti contractus).
Debitur yang
dituduh telah lalai dan dituntut untuk membayar ganti rugi, dapat mengajukan di
depan Hakim bahwa kreditur sendiri juga telah lalai dalam menepati janjinya.
Misalnya, si pembeli menuduh si penjual terlambat menyerahkan barangnya padahal
si pembeli sendiri terlambat membayar uang muka. Tentang Exceptio non adimpleti
contractus ini tidak. diatur di dalam Undang-undang dan merupakan suatu hukum
yurispundensi yaitu hukum yang diciptakan para hakim.
c.
Pelepasan hak
(rechstvenverking)
Alasan terakhir ini merupakan suatu
sikap pihak kreditur yang membuat pihak debitur menyimpulkan bahwa kreditur
tidak akan lagi menuntut ganti rugi. Misalnya, si pembeli telah membeli suatu
barang dan ia mengetahui adanya suatu cacat tersembunyi atau tidak berkualitas
bagus, tetapi ia tidak menegur si penjual dan tetap memakai barang tersebut
sehingga dari sikapnya tersebut ia telah puas akan barang tersebut maka, dalam
hal ini sudah selayaknya tuntutannya tidak diterima oleh hakim.
[1] Departemen Pendidikan
Nasional, Kamus Besar Ikthasar Indonesi Edisi Ketiga, Jakarta : Balai Pustaka.
2005. hal. 458.
[2] Sudarsono, Kamus
Hukum, Jakarta: Rincka Cipta, 2007, hal. 363
[3]
Mariam
Darus, KUH Perdata Buku III Hukum Perikiitan dengan Penjelasan, PT. Alumi
Bandung. 2005, hal. 89. (Selanjutnya dise-but Mariam I).
[4]
R. Subekti,
Op.cit, hal 1.
[5]
Salim
MS, Hukum Kontrak, Teori & Tekriik Penyusunan Kontrak, Jakarta : Sinar
Grafika, 2008. hal. 27. (Selanjutnya disebut Salim HS I)
[6]
Bahan
Kuliah Perancangan Kontrak, M. Husni, Tinjauan Umum Mengenai Hontrak. 2009. 11
Subekti, Op.Cit, hal.l.
[7]
Salim HS.
Op.cit. hal. 33.
[8]
H.R. Daeng
Naja. Op.Cit, hal.86.
[9]
Mariam
Daris, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung; Citra Aditya Bakti, 2001, hal. Mi-69
(Selanjutnya disebut Mariam II)
[10]
Mariam
Darns II, Op. Cit, hal. 116.
[11]
Abdulkadir
III, Op.Cit, hal. 203.
[12]
Mariam I,
Op.Cit, hal 23.
[13]
www.yogiikhwan.wordpress.com.
19 Februari 2010.
[14]
R. Subekti.
Op.cit, hal. 45. 20 Salim HS I, Op.cit.
hal.99.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar