Minggu, 14 April 2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Kebutuhan manusia sangatlah komplek,
dari hal yang terkecil sampai hal-hal besar. Mulai dari bagun tidur sampai
kembali tidur banyak kebutuhan yang diperlukan. Sayangnya pengguna suatu produk
tidak selalu selektif atas barang yang dibeli. Bias dimaklumi memang, karena
tidak semua orang faham akan kandungan barang yang dikonsumsi. Hal tersebut
merupakan malapetaka untuk konsumen jika tidak selektif dan akan menimbulkan
kerugian. Hamper seluruh konsumen membeli produk untuk diambil manfaatnya.
Bukanlah kesalahan konsumen jika
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Oleh sebab itu pemerintah harus punya
sikap preventif untuk melindungi konsumen. Salah satunya dengan menirikan BPPOM
RI yang menyaring produk dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk menyaring
produk halal.
Indonesia yang merupakan pasar yang
sangat potensial untuk ekspansi barang. Bukan hanya produk lokal yang harus
diwaspadai akan tetapi produk-produk impor harus tersaring oleh badan-badan
pengawasan. Sebagai pasar yang potensial, Indonesia harus selalu sigap akan
adanya penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh Produsen. Selain
sebagai penengah bagi produsen dan konsumen, pemerintah sebagai stakeholder
wajib menjalankan Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen. Melindungi masyarakat sebagai konsumen apabila terjadi hal yang
menyimpang dari peraturan tersebut. Pemerintah wajib menegakan hukum yang
berlaku apabila terdapat Produsen “nakal” melangkahi aturan.
HIT adalah obat nyamuk yang dari
tahun 2000-an gencar mengiklankan produk obat nyamuk. Dengan slogan “yang lebih
mahal banyak” dapat disimpulkan bahwa harga barang tersebut relative murah
untuk kantong masyarakat Indonesia. Akan tetapin setelah diteliti ada zat
berbahaya yang terkandung didalamnya sebagai campurannya. Sebagai konsumen yang
jeli akan memilih yang mana, obat nyamuk murah tapi berbahaya atau yang lebih
mahal?
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana
Terjadi Kasus HIT?
2.
Bagaimana
penegakan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dalam
Kasus HIT?
3.
Bagaimana
PT Megasari Makmur Mendapatkan Sanksi Dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
(YLKI)?
C.
DASAR HUKUM
Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
BAB II
PEMBAHASAN
A.
KASUS OBAT NYAMUK HIT MENGANDUNG ZAT BERBAHAYA
Produk obat anti nyamuk yang
digembar gemborkan iklan tidak mahal alias irit itu ternyata berindikasi
mengandung zat berbahaya diklorvos yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan
manusia, seperti keracunan terhadap darah, gangguan saraf, pernapasan dan
sel-sel tubuh. Sebagian besar obat nyamuk semprot masih menggunakan bahan
pestisida yang berbahaya bagi kesehatan manusia seperti propoksur,
klorpirifos, dan diklorvos. Penggunaan bahan pestisida ini dalam
jangka panjang bisa menyebabkan gangguan saraf, penyakit kanker dan teratogenik
(efek terhadap bayi dalam kandungan seperti cacat, keterbelakangan mental dan
lainnya).
Direktur Riset Indonesian
Pharmaceutical Watch (IPW)[1],
Ernawati Sinaga, menyatakan karena
kuatnya lobi para pengusaha maka insektisida yang seharusnya digunakan untuk
perkebunan tersebut masih bisa digunakan secara leluasa, termasuk untuk
insektisida rumah tangga.
Menurutnya, pestisida tersebut untuk
penggunaan bidang rumah tangga diduga dapat menimbulkan pengaruh negatif
terhadap kesehatan manusia dan lingkungan hidup. Atas pertimbangan itu pula,
maka berbagai pihak terkait juga melarang penggunaan pestisida. Ahli Biokimia
dari Universitas Nasional itu, juga mengungkapkan bahwa untuk obat anti nyamuk
bakar rata-rata menggunakan insektisida turunan piretroit, yang tidak terlalu
berbahaya ketimbang obat nyamuk semprot.Namun ia mengingatkan agar sebelum
membeli, konsumen tetap membaca brosur atau keterangan bahan aktif di kemasan
obat anti nyamuk.
B.
BAHAYA PESTISIDA BAGI MANUSIA
Departemen Pertanian (Deptan)
melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke lokasi pabrik PT Megasari Makmur yang
memproduksi obat antinyamuk merk HIT. Tim Deptan ini terdiri dari SAM Bidang
Informasi dan Pangawasan/Wakil Ketua Komisi Pestisida, Direktur Sarana Produksi
Ditjen Tanaman Pangan, Kasubdit Pengawasan Pupuk dan Pestisida Ir Zainul
Abidin, dan Kabid Humas Deptan Dudi Gunadi. Mereka tiba di lokasi sekitar pukul
10.20 WIB. Setelah diskusi sebentar di ruang rapat, Tim Deptan melakukan sidak
ke ruang produksi, pengepakan dan penyimpanan.
Dalam sidak ini, Tim Deptan
menemukan karyawan yang sedang menutup kemasan lama dengan stiker baru. Bagian
(kemasan lama) yang menyebut Bahan Aktif: Propoksur 8.90 g/l dan Diklorvos
8.05 g/l ditutup dengan stiker baru bertuliskan Bahan aktif: sipermetrin
2.04 g/l dan d-aletrin 7.29 g/l.[2]
Kepada Tim Deptan, Direktur Megasari
Fransisca F Hermanto, mengaku pihaknya masih memproduksi HIT 2,1A dan HIT 17L
yang mengandung Diklorvos sampai Mei 2006. Menunggu izin formula baru, Megasari
masih produksi keduanya sampai Mei 2006. Dalam pemahaman kami yang awam,
sebelum izin baru keluar, kami masih boleh memproduksi formula lama. Apalagi
untuk menemukan formula itu kan butuh waktu. Belum untuk mengurus izinnya. Dalam
pengakuannya, antara periode Mei 2004 – Mei 2006, Megasari telah memproduksi
HIT 2,1A sebanyak 2.293 kg/l (99.000 pcs sudah didistribusikan, dan 149.200 picis
masih tersimpan di gudang). Pada periode yang sama juga telah diproduksi HIT
17L sebanyak 4.896.805 kg/l (143.000 pcs sudah didistribusikan, dan 260.900 pcs
masih tersimpan di gudang.
Saat meninjau gudang, Tim Deptan
menemukan penyimpanan HIT stok baru yang letaknya berdekatan dengan HIT stok
lama. Tak ada pembatas yang jelas antara keduanya. Menyaksikan itu, Tim minta
pihak produsen mengisolasi stok lama.
Pestisida merupakan bahan kimia,
campuran bahan kimia atau bahan-bahan lain yang bersifat bioaktif yang pada
hakikatnya digunakan untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman. Namun,
setelah dilakukan beberapa penelitia oleh ahlinya, telah ditemukan dan
diproduksi juga pestisida hayati, yaitu pestisida yang berasal dari makhluk
hidup bukan dari bahan kimia atau campuran bahan kimia. Ada berbagai macam
pestisida yang dipasarkan, namun pada dasarnya, sebagian besar pestisida
bersifat racun. Oleh sebab sifatnya sebagai racun itulah pestisida dibuat,
dijual dan digunakan untuk meracuni OPT (Organisme Pengganggu Tanaman). Setiap
racun berpotensi mengandung bahaya. Oleh karena itu, ketidakbijaksanaan dalam
penggunaan pestisida pertanian bisa menimbulkan dampak negatif.[3]
Dampak pestisida bagi konsumen
umumnya berbentuk keracunan kronis yang tidak segera terasa. Namun, dalam
jangka waktu lama mungkin bisa menimbulkan gangguan kesehatan. Meskipun sangat
jarang, pestisida dapat pula menyebabkan keracunan akut, misalnya dalam hal
konsumen mengkonsumsi produk pertanian yang mengandung residu dalam jumlah
besar.
C.
PELANGGARAN YANG DILAKUKAN OLEH PRODUSEN OBAT NYAMUK HIT
Dalam kasus ini, PT Megasari Makmur melanggar pasal 4 huruf a Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen yang berbunyi:
“Hak
konsumen adalah :
Berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 1999,
Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum
untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Nah, dari itu, perlindungan
konsumen fokusnya bertujuan pada usaha meningkatkan kesadaran, kemampuan dan
kemandirian konsumen untuk melindungi diri, mengangkat harkat dan martabat
konsumen dengan cara. menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan
jasa, meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
Sebenarnya, adanya UU ini cukup representatif apabila telah dipahami oleh semua
pihak, karena di dalamnya juga memuat
tentang upaya menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung
unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan
informasi, menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan
konsumen. sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha,
kewajiban mereka untuk meningkatkan kualitas barang dan jasa yang menjamin kelangsungan usaha
produksi barang dan jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan
konsumen. Kemudian di dalam UU Perlindungan Konsumenpun, diatur tentang
pelarangan bagi pelaku usaha yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal,
sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label[5].
Hak-hak konsumen dalam UU Nomor 8 Tahun 1999, telah diatur secara jelas.
Konsumen mempunyai hakatas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan jasa, hak untuk memilih barang dan jasa serta
mendapatkan barang dan jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi
serta jaminan yang dijanjikan.[6]
Kemudian konsumen berhak pula atas
informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan
jasa, hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan jasa yang
digunakan, hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut, hak untuk mendapatkan kompensasi,
ganti rugi atau penggantian apabila barang dan jasa yang diterima tidak sesuai
kualitasnya atau tidak sebagaimana mestinya. Namun, memang pada realitanya,
terkadang konsumen seringkali berada pada posisi yang kurang menguntungkan dan
daya tawarnya lemah. Ini karena mereka belum memahami hak-hak mereka dan
terkadang sudah menganggap itu persoalan biasa saja. Untuk itu mesti di bangun
gerakan secara massif antar elemen masyarakat yang care terhadap advokasi
kepentingan konsumen.
D.
PENEGAKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 DALAM KASUS HIT
Penarikan dan pemusnahan obat nyamuk HIT 2,1A dan HIT 17L yang
mengandung pestisida berbahaya (zat kimia diklorvos yang berefek samping kanker
hati dan lambung), akan berdampak tidak baik untuk konsumen. YLKI sudah lama
melarang penggunaan pestisida karena tidak baik bagi kesehatan. Hal tersbut
juga telah ditegaskan dalm undang-undang perlindungan konsumen.
Jika ternyata benar bahwa tahun 2003 Departemen Pertanian telah
melayangkan surat teguran kepada PT Megasari Makmur (produsen obat nyamuk HIT),
seharusnya produsen bisa dikenakan sanksi atau pencabutan izin produksi. Produsen
yang memproduksi barang tidak sesuai standar bisa dikenakan sanksi seperti yang
tertera pada UU Perlindungan Konsumen, yaitu pidana maksimal 5 tahun atau denda
maksimal Rp 2 miliar.
YLKI sendiri pada tahun 1999 sempat melakukan survei label terhadap
beberapa merek obat nyamuk. Dari sekian banyak yang diuji, HIT berjenis semprot
dan cair memang sudah mengandung bahan aktif diklorovos. Menurut WHO
Diklorovos termasuk kelompok racun yang paling tinggi. Akan tetapi, saat itu
memang belum ada pengumuman dari pemerintah untuk melarang penggunaan
bahan-bahan tersebut dalam kadar tertentu.
YLKI hanya memberlakukan sanksi penarikan selama dua bulan HIT yang
telh beredar untk dimusnahkan, jika tidak maka akan ada sanksi baru. Dengan
demikian permasalah sudah dituntaskan oleh YLKI tanpa harus berakhir dimeja
hijau.
BAB III
A.
KESIMPULAN
1.
Terdapat
pestisida yang terdiri dari beberapa zat berbahaya bagi kesehatan manusia.
Karena HIT adalah obat antinyamuk untuk dipakai dirumah, maka sangat rentan
mengganggu kesehatan. Adalah PT Megasari Makmur yang memproduksi merek obat
nyamuk tersebut telah diperiksa oleh YLKI terkait kandungan produknya. PT
Megasari melanggar pasal 4 huruf a UU 8 tahun 1999
2.
Dalam
kasus tersebut penegakan Undang-undang nomor 8 tahun 1999 dilakukan penarikan
dan pemusnahan produk baik yang sudah beredar maupun yang masih terdapat
digudang. Karena tidak sampai berakhir lewat litigasi maka penegakan UU
tersebut masih belum dikatakan telah ditegakan. Akan tetapi ada proses lain
yang lebih baik untuk kepentingan perusahaan maupun konsumen. Dengan demikian
konsumen masih terlindungi, walaupun HIT lolos dari pengawasan.
3.
PT
Megasari Makmur hanya berupaya dengan penarikan dan pemusnahan produk. Walaupun
dalam undang-undang perlindungan konsumen, pelaku usaha harus menanggung ganti
rugi apabila terjadi hal yang merugikan konsumen.
B.
SARAN
1.
Untuk
pemerintah, lebih mengedepankan sifat preventif atas barang-barang yang
berbahaya. Salah satunya obat antnyamuk HIT. Pengawasan terhadap para pelaku
usaha dan produk yang dipasarkan harus diseleksi dengan ketat. Karena yang
menggunakan produk itu adalah masyarakat banyak.
2.
Untuk
Pelaku Usaha, lebih memberikan kualitas bukan kuantitas barang. Karena usaha
yang bagus adalah yang membuat konsumen puas. Tidak berlaku curang atas
produknya dan selalu jujur akan keadaan barang. Selalu menggunakan
barang-barang yang aman untuk kesehatan dan menghindari dari ekses produk yang
bersangkutan.
3.
Untuk
masyarakat, lebih jeli dan selektif atas produk yang hendak dikonsumsi. Selalu
melihat tanggal kadaluarsa dan komposisi produk. Jangan hanya tergiur karena
murah. Murah bukan jaminan suatu produk bagus.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-undang nomor 8 tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen
Ninkiatian.blogspot. Heboh
Antinyamuk Berbahaya. diakses 22 Mei 2012
I Gede Supawan Bagus. 2009. Penggunaan
Pestisida : Artikel.
Majalah NOVA. Pilah-Pilih Obat
Nyamuk Setelah Hit Ditarik. Edisi 2004.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar